Nurkholis Sastro/foto croping FB Nurkholis Sastro

LEBONG, sahabatrakyat.com– PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) Hulu Lais diduga melalaikan 17 rekomendasi Kementerian ESDM pasca-longsor April 2016 lalu sehingga memicu bencana-bencana serupa sesudahnya.
PGE juga dianggap tidak taat terhadap dokumen AMDAL yang sudah disusun, baik dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) maupun dalam Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) Pembangunan Lapangan Panasbumi dan PLTP Hululais PT PGE di Kecamatan Lebong Tengah dan Lebong Selatan.
Koordinator Aliansi Lingkar Hijau Lebong, Nurkholis Sastro mengatakan, hampir semua kesepakatan yang dibuat PGE itu tidak ada yang ditaati.
Aliansi Lingkar Hijau Lebong sendiri merupakan gabungan elemen atau unsur petani terdampak, tokoh adat, tokoh masyarakat, pemuda, mahasiswa, orang Rejang, serta masyarakat yang peduli pembangunan Lebong.
Sastro menguraikan, dalam dokumen AMDAL, total luasan pembukaan lahan mencapai 18–20 hektar berdasarkan Wilayah Kerja Perusahaan (WKP) sesuai persetujuan Dir EP Migas No. 58/DMG/1996.
“Lokasi WKP ini memang disebut dalam dokumen RKL dan RPL sebagai daerah yang rawan dan peka terhadap bahaya erosi,” ujar Sastro.
Secara sosial-ekonomi, lanjut dia, wilayah itu memang merupakan lahan perkebunan kopi; persawahan warga; dan berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Lindung Bukit Gedang Hulu Lais.
“Padahal sudah hampir 10 tahun PGE Hulu Lais melakukan tahapan pra konstruksi, kontruksi dan persiapan operasi,” cetus Koordinator Daerah Komunitas Konservasi Indonesia (WARSI) Bengkulu itu.
Akibat ketidak-patuhan PGE Hulu Lais menjalankan semua kesepakatan dalam Dokumen AMDAL itulah yang ditengarai menjadi pemicu utama terjadinya longsor besar pada 28 April 2016 di sekitar lokasi Cluster A.  
Akibatnya, Cluster A yang harusnya berproduksi pada 2018 terpaksa ditutup.
Selain itu, longsor juga menelan korban jiwa enam petani pekebun dan pekerja warga lokal di PGE.
Longsor juga telah menimbun area persawahan milik 41 KK, warga Kecamatan Lebong Selatan. Termasuk membuat masyarakat di beberapa kecamatan gagal panen.
Bukti lain yang ditemukan di lapangan adalah bungkusan limbah B3 yang terkesan dibiarkan berserak di areal lahan terbuka yang dianggap melanggar Keputusan Kepala Bapedal Nomor 68/BAPEDAL/05/1994.
“Yakni tentang tata cara memperoleh izin penyimpanan, pengumpulan, pengoprasian alat pengolahan, pengolahan dan penimbunan akhir limbah B3,” urai Sastro.
Fakta selanjutnya, lanjut Sastro, adalah dua tahun pasca-longsor tidak ada upaya yang serius untuk melakukan pemulihan lingkungan; pembangunan tanggul penahan longsor; dan normalisasi sungai dari hulu-hilir.
Sehingga mulai pertengahan 2017 memberi dampak yang sangat serius pada kehidupan ekosistem air, persawahan, situs budaya dan pemukiman warga. Sudah lebih 30 ha sawah tertimbun pasir, 8 desa/kelurahan yang sering mengalami banjir sepanjang 2017 sudah terjadi lima kali.
“Dan akan ada lebih dari 2.500 hektar lebih persawahan irigasi Cek DAM akan mengalami gangguan lumpur dan air belerang. Hingga saat ini sudah lebih dari Rp 5 milyar kerugian akibat banjir dan kerusakan persawahan,” beber Sastro.
Kebijakan Pemprov
Aliansi Lingkar Hijau Lebong, lanjut Sastro, juga melihat ada kecerobohan Pemprov Bengkulu dengan memberi izin pertambangan galian C “Air Kotok Indah” yang berlokasi dalam WKP PT. PGE yang sekaligus menjadi hulu Sungai Air Karat dan Sungai Air Kotok.
“Kami akan menyampaikan persoalan di Lebong ini kepada Plt Gubernur dan DPRD Provinsi Bengkulu. Kita minta waktu dan ruang untuk berdialog supaya bisa sama-sama membahas. Kami juga akan tawarkan solusi,” katanya.
Isu Nasional
Sastro menegaskan, jika upaya-upaya serius dan langkah strategis tidak segera diambil, maka kerugian yang lebih besar tinggal menunggu waktu saja.
Aliansi Lingkar Hijau Lebong, kata Sastro, sudah membawa persoalan ini kepada tingkat yang lebih tinggi. “Ini sudah kami komunikasikan ke Anggota DPD perwakilan Bengkulu supaya bisa dibahas juga di tingkat nasional,” katanya.
“Kami melihat ketidak-patuhan PGE menjalankan kesepakatan AMDAL dan 17 Rekomendasi Kementerian ESDM Nomor 1505/45BGL/V/2016 yang diterbitkan pasca-banjir merupakan tindakan berlawanan hukum lingkungan. Kami menggugat!” tandas Sastro.


Penulis: Jean Freire