Calon Anggota KPU RI periode 2017-2022 saat mengikuti tahap wawancara oleh Timsel yang direkam dan diunggah di youtube/foto KPU

Di antara sejumlah perubahan yang diatur dalam RUU Pemilu, mekanisme pemilihan calon anggota KPU Kabupaten/Kota menjadi salah satu pokok bahasan yang menarik untuk dicermati sekalipun mungkin luput dari ulasan mendalam apalagi polemik panjang.
Dalam RUU Pemilu yang baru disahkan DPR RI itu disebutkan bahwa pemilihan calon anggota KPU Kabupaten/Kota (masih) melalui tahapan seleksi oleh tim seleksi atau timsel.
Hanya saja, jika pada periode sebelumnya timsel menyerahkan nama-nama calon komisioner untuk melalui tahapan berikutnya ke KPU Provinsi lalu ditetapkan calon terpilihnya oleh KPU Provinsi, maka nanti hasil kerja timsel akan disampaikan ke KPU RI.
Di KPU RI-lah akan dilakukan pemilihan dan penetapan sejumlah anggota KPU Kabupaten/Kota yang diberi waktu paling lama 60 hari sejak nama-nama calon disampaikan timsel.
RUU Pemilu juga mengatur tim seleksi pemilihan calon anggota KPU Kabupaten/Kota dibentuk oleh KPU RI. Timsel berjumlah lima orang yang berasal dari unsur profesional, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Sebelumnya, timsel dibentuk di tiap-tiap kabupaten dengan memperhatikan masukan dari pemerintah daerah setempat. Jumlahnya tiga orang mewakili unsur pemerintah, akademisi, dan tokoh masyarakat.
Lantas apa yang bisa diharapkan dari perubahan ini?
Tentu kita berharap perubahan itu berdampak pada peningkatan kompetensi dan kapasitas diri anggota KPU Kabupaten/Kota yang terpilih. Singkatnya, mereka yang berkualitas-lah yang terpilih.
Sudah menjadi rahasia umum jika kualitas anggota KPU Kabupaten/Kota di sejumlah wilayah menjadi pertanyaan bahkan diragukan banyak pihak atas sejumlah indikasi pelanggaran kode etik.
Hal itu, antara lain, diperkuat dengan dilaksanakannya sidang kode etik oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP terhadap para penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik.
Data DKPP, selama lima tahun saja DKPP telah menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu sebanyak 2.578 perkara.
Jumlah tersebut berasal dari pengaduan yang berkaitan dengan Pemilukada 2012-2014, Pemilu Legislatif, Pilpres, Pemilukada serentak 2015, dan 2017. Namun ada pula yang tidak ada hubungannya dengan tahapan Pemilu.
Anggota DKPP Nur Hidayat Sardini mengatakan, total jumlah pengadu dari tahun 2012-2017 sebanyak 1.586 Pengadu. Jumlah pengadu paling banyak dari unsur masyarakat atau pemilih, dan peserta Pemilu atau paslon. Pengaduan dari unsur masyarakat atau pemilih ada 680 pengadu, sedangkan dari unsur Paslon 556 Pengadu.
Masih menurut Nur Hidayat Sardini, jumlah penyelenggara Pemilu yang pernah menjadi teradu sebanyak 12.198 orang. Dari jumlah tersebut, sebagian besar terjadi pada penyelenggara Pemilu di daerah.
Rinciannya, teradu dari KPU kabupaten/kota, 5.998 orang, dari KPU Provinsi sebanyak 1.416 orang. Sedangkan dari Panwas kabupaten/kota sebanyak 1.370 orang, dan Bawaslu provinsi sebanyak 373 orang.
Memang tidak setiap pengaduan yang masuk ke DKPP dengan serta merta disidangkan. Setiap pengaduan harus melalui proses seleksi yang ketat. Yakni mesti lolos verifikasi administrasi maupun materil.
Dari jumlah 2.578 pengaduan, hanya 871 perkara yang naik sidang. Dan jumlah tersebut, sebanyak 840 perkara yang diputus. Dari 840 perkara yang diputus, ada 3.379 penyelenggara Pemilu. Dari jumlah tersebut, sebanyak 412 penyelenggara Pemilu diberhentikan tetap.
Ada pula 11 penyelenggara Pemilu diberhentikan dari jabatan sebagai ketua. Sanksi pemberhentian sementara dari penyelenggara Pemilu sebanyak 36 orang. Adapun sanksi berupa peringatan sebanyak 861 orang.
Meski jumlah penyelenggara Pemilu yang diberhentikan dan dijatuhi sanksi cukup banyak, tetapi jauh lebih banyak penyelenggara Pemilu yang direhabilitasi yaitu 1.878 orang.
Agaknya, berkaca dari pengalaman itu-lah maka kewenangan akhir pemilihan calon anggota KPU Kabupaten/Kota kini ditarik ke pusat (KPU RI).
Setidaknya, ruang terjadinya transaksi atau deal-deal karena faktor kedekatan biologis, psikologis dan politis bisa dipersempit–jika tak bisa dibilang hilang sama sekali.
Transparansi
Bila melihat mekanisme yang dilalui dalam pemilihan anggota KPU RI periode 2017-2021, misalnya, ada optimisme yang bisa diharapkan jika hal serupa juga bisa digulirkan dalam proses rekrutmen komisioner KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
Di antaranya: proses wawancara yang dipantau langsung oleh publik, direkam lalu diunggah lewat media youtube. Publik bisa melihat sekaligus ikut menilai bagaimana kompetensi dan kapasitas para calon. Termasuk relevansi pertanyaan yang diajukan Timsel.
Sekalipun tahap akhir ada di KPU RI, namun publik bisa menakar apakah calon terpilih layak atau tidak. Sementara bagi Timsel dan KPU RI, taruhannya adalah independensi, integritas, dan komitmennya.
Sejak 2014, KPU sudah membangun komitmen dan menggulirkan sejumlah terobosan agar menjadi lembaga yang dipercaya publik. Transparansi, misalnya, menjadi salah satu kata kunci yang membuat kinerja KPU menuai apresiasi.
Capaian yang sudah dituai KPU selama kurun lima tahun terakhir tentu harus dipertahankan dan ditingkatkan. Salah satu upaya untuk itu adalah dengan memilih calon anggota KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota yang berkualitas agar KPU tetap dipercaya publik, agar pelanggaran kode etik oleh penyelenggara Pemilu bisa ditekan bahkan hilang sama sekali.
Semoga.
===============================================
Oleh: JEAN FREIRE
Tulisan ini pendapat pribadi, tidak mewakili sikap sahabatrakyat.com