LEBONG, sahabatrakyat.com– Cahaya matahari belum lagi terang ketika kami menyusuri jalan rabat beton dan jembatan gantung sungai Kotok Dusun 3, Desa Nagai Amen, Kecamatan Amen, Lebong atau biasa dikenal dengan Kebun Ubi. Pagi itu langkah kami padu menuju kelompok pengrajin panganan berbahan ubi bernama Opak Sedulur.

Pagi itu kami bersengaja untuk melihat, belajar dan pengambilan gambar para perempuan pengolah ubi. Sesampai di rumah bu Sri dan Dwi, si pengrajin opak, keripik serta olahan pangan dari ubi, kami disambut api kompor dan kuali besar dengan air mendidih tempat membekukan serta memasak opak sebelum dipindahkan lalu dijemur.

Beranjak siang, para perempuan pengelola Opak Sedulur satu per satu berkumpul di rumah bu Sri, sang ketua kelompok Opak Sedulur. Setelah berkenalan secara kelembagaan, Anton (Manajer Program PKBI Daerah Bengkulu), lalu Widi, Vivi dan Tiza mulai menghantar dan membuka ruang diskusi seputar persoalan dan harapan dalam pengembangan pengelolaan opak, keripik dan panganan lainnya. Setelah itu mulai menayakan seputar kesehatan seksualitas dan kesehatan reproduksi (kespro).

Awalnya malu dan ragu untuk menyampaikan pengalaman atau gangguan atas kespro yang dihadapi perempuan petani pengrajin opak. Namun seiring proses, persoalan akses dan dampak info atas penggunaan alat kontrasepsi serta hambatan saat persalinan mulai menghangat dan perdebatan. Yang menandakan cukup banyak persoalan yang dihadapi oleh perempuan desa terhadap HKSR.

Setelah diskusi, Vivi, Widi dan Tiza mempersiapkan meja layanan bagi perempuan. Penting bagi perempuan muda untuk mengetahui status HB, kadar gula darah mereka. Ini sangat terhubung dengan kespro. Pada kelompok lansia disiapkan layanan uji kolestrol dan asam urat.

Kami memberi nomor layanan informasi pada ibu-ibu ini. Kami meyakini banyak persoalan HKSR yang dikungkung oleh rasa malu-tabu. Usai melakukan layanan kami menyepakati untuk bisa bertemu, berdiskusi dan pemberian layanan kembali.

Menurut ibu-ibu ini, baru kali ini ada pemberian informasi dan pelayanan kesehatan dilakukan langsung di Dusun Tiga atau Kebun Ubi. Proses belajar bersama 27 orang kelompok perempuan ini ke depan bisa menjadi media kami untuk melihat soal ketahanan pangan, perubahan iklim dan akses HKSR perempuan pedesaan.

Proses ini tentu butuh waktu, semangat dan komitmen melihat satu per satu terkait pangan, perubahan iklim dan akses kesehatan HKSR. Pendokumentasian dan pembelajaran tentu menjadi alat tuk melakukan mitigasi-adaptasi akan keanekaragaman pangan dan perubahan iklim yg bisa mempengaruhi secara langsung akan akses layanan HKSR perempuan dewasa dan muda pedesaan.

Semangat untuk berkumpul seperti kekuatan baru yang merasuki kami bisa hadir ditengah peremuan, lalu menyuarakan beragam persoalan yang dihadapi pada pengambil kebijakan mulai dari desa kabupaten dan mungkin juga provinsi.

Merdeka di ujung Agustus, perempuan hebat Kebun Ubi!


Penulis: Nurkholis Sastro