Ilustrasi Mundang Biniak/foto disparpora.lebongkab.go.id

LEBONG, sahabatrakyat.com- Dalam soal pertanian (sawah) masyarakat Suku Rejang, khususnya di Kabupaten Lebong, punya tradisi budaya yang sudah turun temurun ditunaikan. Mundang Biniak, namanya.
Tradisi yang meluas di Suku Rejang ini diawali dari Marga Sembilan. Mereka meyakini adanya kekuatan lain yang berasal dari alam pada buah padi yang disebut semanget poi.
Keyakinan itu melahirkan ritual Mundang Biniak sebagai bentuk penghormatan supaya tanaman padi petani terjaga dari gangguan atau hama yang membuat gagal tanam atau gagal panen.
“Itu bertolak pada sebuah keyakinan. Orang dulu meyakini bahwa kalau (Mundang Biniak) tidak dilaksanakan nanam padi tidak akan berhasil, banyak hama dan lain-lain. Padi itu ada dewanya, kalau kata orang Rejang semanget poi,” tutur Badrul Zaman, ketua Badan Musyawarah Adat (BMA) Lebong, Senin(05/02/2019) malam ditemui sahabatrakyat.com di kediamannya.
Kata Badrul, Mundang Biniak digelar menjelang turun tanam. Biasanya sebulan sebelum benih disebarkan. Para petani membawa benih padi secukupnya–biasanya segenggam, untuk diserahkan ke sialang atau dukun pewaris tradisi agar dibawa dalam upacara.
Ritual ini tak boleh asal. Ada syarat yang harus dipenuhi. Misalnya, ada air putih, pisau, pedupo, daun sirih, kemenyan, buah kelapa muda dan uang tempoe doeloe. Prosesi dihadiri pemimpin daerah atau kepala desa jika dilakukan pada tingkat desa.
Badrul Zaman

Padi yang telah menjalani ritual berupa pengasapan dari pembakaran kemenyan lalu dibagikan pada petani. Benih itu akan dicampur dengan padi yang akan dijadikan benih.
“Isi daripada ritual tersebut intinya mengharapkan kepada sesepuh-sesepuh orang Rejang supaya padi itu dapat selamat dan bisa memberikan hasil yang berlimpah pada anak cucunya. Jadi padi yang dikumpulkan ke sialang dibagikan kembali untuk dicampur pada padi yang akan diserak,” kata Badrul.
Seiring dengan perubahan zaman, Badrul mengakui saat ini Mundang Biniak sudah jarang dilaksanakan. Dari 12 kecamatan, misalnya, menurut Badrul, ritus adat itu masih ditunaikan tiap tahun oleh petani di wilayah Kelurahan Amen, Kecamatan Amen.
BMA sendiri tetap berupaya menjaga tradisi Mundang Biniak supaya tidak dilupakan oleh generasi yang akan datang. Selain kembali diterapkan juga diarsipkan dalam sebuah buku yang berjudul Kelpik Hukum Adan Ngen Rian Cao. “Seiring dengan kemajuan zaman, itu tertinggal. Tugas BMA itu hanya melestarikan budaya,” katanya.
Terakhir 1980-an
Azizi (49 tahun), petani di Desa Bungin, Kecamatan Bingin Kuning, mengakui tradisi leluhur itu sudah jarang ditunaikan generasi kini. Mundang Biniak terakhir yang ia ingat adalah pada 1980-an.
Azizi

“Terakhir dilakukan dulu sewaktu saya masih kecil. Kini yang muda-muda tidak lagi menjalankan,” kata Azzi dalam dalam Bahasa Rejang.
Senada dituturkan warga lainnya, Era (56 tahun). Kata Era, Mundang Biniak diyakini dapat meningkatkan hasil panen padi masyarakat jika dilakukan.
“Kalau menurut orang dulu padi kita bisa terhindar dari penyakit dan hama,” katanya.


Pewarta: AKA BUDIMAN
Editor: Jean Freire