Ramadhan

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan “shaum”. Shaum secara bahasa bermakna imsak (menahan diri) dari makan, minum, berbicara, nikah dan berjalan. Sedangkan secara istilah shaum bermakna menahan diri dari segala pembatal dengan tata cara yang khusus.[1]

Puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa)[2], berakal[3], dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak bersafar)[4].

Yang menunjukkan bahwa puasa Ramadhan itu wajib adalah dalil Al Qur’an, As Sunnah bahkan kesepakatan para ulama (ijma’ ulama)[5].

Di antara dalil dari Al Qur’an adalah firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah : 183)

Dalil dari As Sunnah adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ

“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.”[6]

Wajibnya puasa ini juga sudah ma’lum minnad dini bidhoruroh yaitu secara pasti sudah diketahui wajibnya karena puasa adalah bagian dari rukun Islam[7]. Sehingga seseorang bisa jadi kafir jika mengingkari wajibnya hal ini.[8]

Peringatan Bagi Orang Yang Sengaja Membatalkan Puasa

Abu Umamah menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal. Keduanya berkata, ”Naiklah”. Lalu kukatakan, ”Sesungguhnya aku tidak mampu.” Kemudian keduanya berkata, ”Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat keras. Lalu aku bertanya,”Suara apa itu?” Mereka menjawab,”Itu adalah suara jeritan para penghuni neraka.”

Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah darah. Kemudian aku (Abu Umamah) bertanya, ”Siapakah mereka itu?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

هَؤُلَاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ

”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba waktunya.”[9]

Lihatlah siksaan bagi orang yang membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama sekali.

Adz Dzahabiy sampai-sampai mengatakan, “Siapa saja yang sengaja tidak berpuasa Ramadhan, bukan karena sakit atau uzur lainnya, maka dosa yang dilakukan lebih jelek dari dosa berzina, penarik upeti (dengan paksa), pecandu miras (minuman keras), bahkan orang seperti ini diragukan keislamannya dan disangka sebagai orang yang terjangkiti kemunafikan dan penyimpangan.”[10]

[Tulisan di atas dicuplik dari Buku Panduan Ramadhan cetakan keenam tahun 2014 karya Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal yang dibagikan gratis kepada kaum muslimin, diterbitkan oleh Pustaka Muslim Yogyakarta]

[1] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 7.
[2] Tanda baligh adalah: (1) Ihtilam, yaitu keluarnya mani dalam keadaan sadar atau saat mimpi; (2) Tumbuhnya bulu kemaluan; atau (3) Dua tanda yang khusus pada wanita adalah haidh dan hamil. (Lihat Al Mawsua’ah Al Fiqhiyah, 8: 188-190).
Sebagian fuqoha menyatakan bahwa diperintahkan bagi anak yang sudah menginjak usia tujuh tahun untuk berpuasa jika ia mampu sebagaimana mereka diperintahkan untuk shalat. Jika ia sudah berusia 10 tahun dan meninggalkannya –padahal mampu-, maka hendaklah ia dipukul. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 20)
Imam Al Bukhari membawakan pula dalam kitab Shahihnya Bab “Puasanya anak kecil“. Lantas beliau membawakan hadits dari Ar Rubayyi’ binti Mu’awwidz. Ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang pada pagi hari di hari Asyura (10 Muharram) ke salah satu perkampungan Anshor, lantas beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak berpuasa di pagi hari, maka hendaklah ia menyempurnakan sisa hari ini dengan berpuasa. Barangsiapa yang berpuasa di pagi harinya, hendaklah ia tetap berpuasa.” Ar Rubayyi’ berkata, “Kami berpuasa setelah itu. Dan kami mengajak anak-anak kami untuk berpuasa. Kami membuatkan pada mereka mainan dari bulu. Jika saat puasa mereka ingin makan, maka kami berikan pada mereka mainan tersebut. Akhirnya mereka terus terhibur sehingga mereka menjalankan puasa hingga waktu berbuka.” (HR. Bukhari no. 1960). Hadits ini menunjukkan bahwa hendaklah anak-anak dididik puasa sejak mereka kuat. Jika mereka ‘merengek’ ingin berbuka padahal belum waktunya, maka hiburlah mereka dengan mainan sehingga mereka terbuai. Akhirnya mereka nantinya bisa menjalankan puasa hingga waktu Maghrib.
[3] Bagaimana dengan orang yang pingsan?
Dijelaskan oleh Muhammad Al Hishni bahwa jika hilang kesadaran dalam keseluruhan hari (dari terbit fajar Shubuh hingga tenggelam matahar
i, -pen), maka tidak sah puasanya. Jika tidak, yaitu masih sadar di sebagian waktu siang, puasanya sah. Demikian menurut pendapat terkuat dari perselisihan kuat yang terdapat pada perkataan Imam Syafi’i. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251 dan Hasyiyah Al Baijuri, 1: 561.

Bagaimana dengan orang yang tidur seharian, apakah puasanya sah?
Ada ulama yang mengatakan tidak sah sebagaimana perihal pingsan di atas. Namun yang shahih dari pendapat madzhab Syafi’i, tidur seharian tersebut tidak merusak puasa karena orang yang tidur masih termasuk ahliyatul ‘ibadah yaitu orang yang dikenai kewajiban ibadah. Lihat pembahasan Kifayatul Akhyar, hal. 251.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 20 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2: 88. Ada ulama menambahkan syarat wujub shoum (syarat wajib puasa) yaitu mengetahui akan wajibnya puasa.
[5] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 28: 7.
[6] HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16, dari ‘Abdullah bin ‘Umar.
[7] Ad Daroril Mudhiyyah, hal. 263.
[8] Shahih Fiqh Sunnah, 2: 89.
[9] HR. Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 7: 263, Al Hakim 1: 595 dalam mustadroknya. Adz Dzahabi mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim namun tidak dikeluarkan olehnya. Penulis kitab Shifat Shaum Nabi (hal. 25) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[10] Al Kabai-r, hal. 30.

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : rumaysho.com