R.Pan/Foto: Istimewa/sahabatrakyat.com
R.Pan/Foto: Istimewa/sahabatrakyat.com

BENGKULU UTARA, sahabatrakyat.com– Menulis bukan hobi apalagi kebiasaan yang sudah dia pupuk sejak dini. Tapi cerita seorang guru saat dia masih di bangku SLTA memicu asanya untuk melahirkan sebuah karya yang kelak serupa dengan cerita roman religi sang guru.

“Kalau nilai Bahasa Indonesia ku juga gak bagus-bagus nian, bang. Tapi karena cerita
guru itu saya membayangkan suatu saat kisah itu benar-benar terjadi pada diri saya,”
tutur R. Pan yang dijumpai di Desa Rena Jaya, Kecamatan Giri Mulya belum lama ini.

Kisah sang guru yang membekas di benak mahasiswa semester VI IAIN Bengkulu ini
adalah tentang seorang santriwati yang jatuh hati kepada seorang pemuda.

Ceritanya tentang seorang pemuda yang pulang usai studi di salah satu universitas
terkemuka di Mesir. Saban hari si pemuda itu membantu mengantar makanan ke pondok
dimana santriwati tadi menimba ilmu. Sosoknya ternyata menarik simpati seorang
siswi/santri.

Namun sang gadis yang kagum dan terpesona sadar diri kalau usia mereka yang terpaut
sangat jauh tidak mungkin membuat mereka bisa bersama sebagai pasangan alias
berjodoh.

Akhirnya si gadis pun membawa rasa kagum dan harapannya dalam doa. Ia berharap agar
suatu saat bisa punya pendamping seperti pemuda idamannya itu. Lalu suatu hari
setelah sekian lama, si pemudi pun ditaaruf. Seolah tak percaya, ternyata si pemuda
yang dia idamkan itulah yang jadi jodohnya.

Sebagaimana remaja pada umumnya, kisah pernikahan tanpa pacaran atau pacaran setelah menikah dalam cerita guru itu bagi R. Pan menjadi tak biasa atau sulit diterima.
Bagaimana bisa? Pikirnya. Bukankah pacaran itu waktu untuk saling mengenal sebelum
menikah? Kira-kira itulah pertanyaan R. Pan dan bisa jadi juga anak remaja kebanyakan.

Masih ada banyak pertanyaan lagi dan juga pendapat yang pelan-pelan mulai dia rekam
dalam goresan. Ada yang jadi puisi. Ada cerpen. Lalu nyemplung ke blog dan menulis
untuk playstore. Jadi jurnalis kampus juga. Sampai bikin dan punya website sendiri.

Punya asa yang lama terpendam plus dukungan kemajuan teknologi informasi yang
menopang, mimpin R. Pan akhirnya terwujud dalam karya perdananya berupa buku
berjudul “Jodohku Cinta Dalam Doaku” yang terbit pada akhir tahun 2020 lalu.

Buku yang ia garap selama sekitar satu tahun itu mendongkrak nama R. Pan sebagai
salah satu penulis muda berpotensi Bengkulu.

Siapa R. Pan?

Pria kelahiran Desa Giri Mulya, Kecamatan Giri Mulya, Bengkulu Utara 27 Juli 1999
ini adalah putra ketiga dari enam bersaudara dari ayah Malian Syafei dan ibu
Irawati.

Penting diingat, nama R (titik) Pan bukan nama pena atau nama samaran. Huruf R juga
bukan singkatan untuk nama yang lain semisal Raden, Raja, atau apalah. “Ya R. Pan.
Dari lahir dan di ijazah ditulis begitu, cuma disebutkan serupa erpan,” jelas R.
Pan.

Meski dari desa paling ujung di wilayah Bengkulu Utara, alumni SMAN 1 Giri Mulya ini
membuktikan suatu karya tak bisa dibatasi latar asal usul atau tempat dimana kita
menempuh pendidikan.

Kuncinya, kata R. Pan, ada pada niat. “Niatnya itu apa? Kalau niat saya memberi
manfaat. Karya ini juga untuk jadi jalan dakwah,” ujar R. Pan. “Satu lagi. Jangan
lihat atau menilai siapa yang menulis. Tapi apa pesannya. Itu yang penting.”

Maka lahirnya buku “Jodohku Cinta Dalam Doaku” sesungguhnya juga sarat pesan moral
kepada generasi muda supaya usai yang masih belia tidak dihabiskan hanya untuk
urusan asmara atau metean dalam kamus orang Bengkulu.

“Menulis itu ternyata bikin kita kaya sudut pandang. Punya banyak perspektif dalam
melihat atau menilai sesuatu. Apalagi di jaman medsos ini orang bisa dengan gampang
tersulut informasi yang belum tentu benar. Mudah kena hoax,” katanya. (JF)