LEBONG, sahabatrakyat.com- SEJARAH lahirnya sebuah wilayah memang beragam. Selain kisah haru dan takjub, kisah pilu dan duka juga kerap mewarnainya. Begitu juga sejarah lahirnya Desa Sungai Lisai. Sebuah desa dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS). Desa ini merupakan salah satu desa paling ujung di sebelah utara Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu.
Awalnya Desa Sungai Lisai merupakan bagian dari Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi. Namun karena lebih dekat ke Kabupaten Lebong, atas kesepakatan warga dan pemerintah daerah kedua kabupaten, maka pada Desember 2009, desa ini masuk ke wilayah Kabupaten Lebong.
Hasan (71 tahun), adalah salah seorang pelaku sejarah desa. Dia-lah orang yang pertama kali ikut membuka lahan yang kini sudah berubah menjadi desa itu. Hasan tak sendiri. Ada enam orang lagi. Namun keenam orang itu sudah mendahuluinya menghadap sang khalik.
Keenam orang yang dimaksud Hasan adalah H. Mubakhri, Bahir, M. Hasan, H. Daud, Maramid dan Karim. Nama terakhir tak lain adalah ayah Hasan.
Hasan menuturkan, sebelum menemukan lokasi desa, mereka telah menjelajah hutan selama 6 hari 6 malam. Dari bukit yang tinggi, mereka melihat dataran luas. Bukit itu dinamakan Bukit Rindu Hati. “Karena saat melihat dataran itu, mulai timbul niat untuk datang melihat secara langsung dataran tersebut. Sehingga terucap rindu hati ingin ke sana,” kisahnya.
Namun untuk mencapai dataran juga tak mudah. Mereka butuh waktu dua hari dua malam sebelum tiba di tujuan. Kata Hasan, pencarian lahan baru untuk pemukiman itu juga didasari tulisan dalam pusaka yang disebut Tembo Tujuh Depo.
Tembo Tujuh Depo ditulis dalam bahasa Arab gundul. Di desa asalnya, Madras, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, hanya tiga orang yang bisa membaca pusaka itu. Soal dataran yang dicari, Hasan mengatakan, pusaka itu menyebut di Gunung Sebelat terdapat dataran luas yang bagus untuk bercocok tanam.
“Kertasnya panjang. Di dalamnya tertulis huruf Arab gundul. Hingga saat ini masih dapat dibaca. Hanya kertasnya saja yang mulai berwarna kuning,” terang Hasan.
Tembo ini ditulis oleh seorang nenek yang diberi gelar Nenek Rio Belang. Ia memiliki dua orang anak. Nenek Rio Gagah Mudo dan Nenek Rio Gagah Tuo. Hingga saat ini Tembo masih ada dan disimpan di Desa Madras.
Wak Hasan, begitu orang desa biasa memanggilnya, lalu mulai menerawang jauh. Ia seakan kembali ke masa silam. Masa-masa perjuangan saat mereka menerobos lebatnya hutan belantara. Saat itu umurnya baru 17 tahun.
“Setelah berhasil menemukan dataran itu. Kami kembali lagi ke Desa Madras. Kami melakukan musyawarah dan berembuk bersama Pasirah. Namanya M. Raif. Oleh beliau kami dibolehkan untuk menebas dataran tersebut untuk dijadikan pemukiman,” cerita Hasan.
Bermodalkan izin tersebut, mereka kembali masuk hutan menuju dataran yang sudah ditemukan. Masing-masing membawa bekal setengah kaleng beras. Hanya itulah yang dibawa untuk menyambung hidup.
Waktu itu ikan di aliran Sungai Seblat mapun Sungai Lisai masih sangat melimpah. Tidak perlu menggunakan pancing. Cukup dengan menghamburkan nasi, ikan seukuran betis orang dewasa sudah berkumpul. Lalu tinggal ditebas pakai parang, ikan tinggal diambil.
Mulai tahun 1963 hingga 1965 mereka mulai menebas hutan yang ada di atas dataran itu. “Pertama sekali yang datang hanya kami, tujuh orang. Lalu pulang ke Madras dan kembali dengan sebelas orang. Untuk ketiga kalinya setelah pulang ke Madras, jumlah kami tambah banyak, 45 orang,” kata Hasan sembari membakar kretek-nya.
Mata Hasan basah. Air matanya mulai tumpah. Ia mengenang perjuangannya. Selama satu setengah tahun ia hanya memiliki satu pakaian yang menempel di badan. Pakaian itulah yang setiap hari ia pakai. Sepuluh hari sepuluh malam juga ia pernah lewati tanpa makan nasi. Hanya makan ubi kayu dan ubi jalar. Itu karena persedian beras yang ia bawa habis. Ia harus menunggu warga yang pulang dan kembali dari Madras.
“Hanya Tuhan dan saya yang tahu bagaimana perjuangan dulu. Pakaian inilah yang saya gunakan setiap hari. Pulang dari sawah baju saya cuci kemudian saya jemur di dekat api. Besok dipakai lagi,” kenangnya.
“Sepuluh hari saya hanya makan ubi karena persedian beras waktu itu habis. Karena itu saya sanggup bekerja di sawah hanya satu jam karena badan terasa lemas, ” ujar hasan sembari memegang baju serta kain untuk menunjukkan jenis pakaian yang saat itu ia miliki.
Di awal tahun 1964 warga dari Desa Madras mulai berdatangan untuk bermukim di Sungai Lisai. Namun saat itu Sungai Lisai masih sebuah dusun. Namanya Dusun Seblat Ilir. Baru di tahun 1965 berubah menjadi Desa Sungai Lisai.
Saat itu Desa Sungai Lisai merupakan bagian dari Provinsi Jambi. Baru pada Desember 2009 Sungai Lisai resmi bergabung dengan Kabupaten Lebong Provinsi Bengkulu. Warga lebih memilih Kabupaten Lebong karena jaraknya lebih dekat.
Untuk ke Madras dengan jarak 40 km warga harus
menempuh waktu dua hari satu malam. Sementara jika ke Muara Aman, Kabupaten Lebong, warga dapat bolak balik dengan waktu satu hari.
“Waktu itu perwakilan masing-masing Kabupaten (Merangin dan Lebong) datang ke sini. Di dalam rapat ditanya siapa yang ingin gabung ke Madras. Seluruh warga yang saat itu ikut rapat tidak ada satu pun yang tunjuk tangan. Kemudian ditanya lagi. Siapa yang ingin ke Lebong, semuanya tunjuk tangan, ” tambah Hasan.
Mereka sadar, mendirikan pemukiman di tengah hutan belantara sangat besar resikonya dengan ancaman binatang buas. Mendirikan rumah panggung adalah salah satu cara masyarakat untuk meminimalisir ancaman tersebut.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Sekitar awal 1973, Hasan harus kehilangan ayahnya, Karim. Harimau menerkam tubuhnya. Menurut Hasan, saat itu Karim besama temannya bernama Abdul Gani dan Marjohan berangkat mencari ikan di Lubuk Panjang selama empat hari empat malam.
Sore, mereka berencana pulang ke Sungai Lisai. Di tengah perjalanan Karim diserang oleh harimau. Ia peraya hal itu tak lepas dari benda pusaka yang dibawa sang ayah.
Saat itu Karim membawa Pusako Tembo Tujuh Depo ke Sungai Lisai. Ia yakin harimau itu merupakan jelmaan Nenek Rio Belang yang membuat pusako tersebut.
“Pusako itu belum bisa dibawa. Karena Desa Sungai Lisai belum siap. Itulah mengapa ayah saya diterkam harimau di tengah jalan. Waktu dilakukan pencarian hanya ditemukan lengan kanan dan paha kiri saja,” kata Hasan.
Oleh warga, bagian tubuh Karim itu dikubur di tengah hutan dimana tubuhnya ditemukan. Hasan tak ikut serta dalam pencarian karena ia pulang ke Desa Madras. “Kalau saya ada di Sungai Lisai tubuhnya akan saya bawa ke desa untuk dimakamkan,” sesal Hasan.
Hasan berpesan kepada masyarakat Desa Sungai Lisai untuk menjaga kesatuan dan jangan saling bermusuhan. Karena merintis desa hingga seperti saat ini butuh pengorbanan dan perjuangan.
Cukup dirinya saja yang merasakan pahitnya waktu itu. “Kalau dipikirkan bagaimana perjuangan dulu rasanya mau menangis saja. Jika saya meninggal nantinya saya ingin dimakamkan di desa ini. Desa Sungai Lisai,” tutup Hasan.
Kini Desa Sungai Lisai mulai disentuh pembangunan. Meski masih kurang di sana sini, setidaknya sudah ada satu sekolah dasar di sana. Ada sebanyak 97 kepala keluarga atau 387 jiwa yang kini mendiami desa dengan luas 571 hektar itu. (cw3)
Editor: Jees