OLEH: ANDRIADI ACHMAD
Dalam buku The Management of Man A Handbook On The Systematic Development Of Morale and The Control Of Human Behavior (1905), Edward Lyman Munson menyatakan kepemimpinan adalah suatu kesanggupan ataupun kemampuan untuk mengatas orang-orang yang sedemikian rupa agar mencapai hasil yang sebesar besarnya dengan kemungkinan konflik yang sekecil kecilnya dan sebesar mungkin terjalinnya kerja sama.
Berbicara dalam konteks kepemimpinan terdapat beberapa teori kepemimpinan yang menarik kita bahas. Pertama, teori kepemimpinan genetis. Teori ini mengasumsikan bahwa tidak setiap orang dapat menjadi pemimpin, hanya beberapa orang yang memiliki pembawaan dan bakat dapat menjadi pemimpin. Hal tersebut memunculkan stigma bahwa “pemimpin tidak hanya sekadar dibentuk tapi dilahirkan.”
Kedua, teori orang hebat (great man theory). Great man theory ini menyatakan bahwa pemimpin hebat itu ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin. Adapun great man theory ini berkembang sejak abad ke-19 yang dipopulerkan oleh Thomas Carlyle dalam buku On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History (1841). Dimana teori ini menganggap seorang pemimpin hebat akan muncul saat dalam menghadapi situasi tertentu. Meskipun tidak dapat diidentifikasikan dengan kepastian ilmiah tentang karakteristik dan kombinasi manusia seperti apa yang dapat dikatakan sebagai pemimpin hebat, namun semua orang mengakui bahwa hanya satu orang diantara mereka yang memiliki ciri khas sebagai pemimpin hebat.
Ketiga, teori sosial.Teori sosial yang menyatakan bahwa seseorang akan dapat menjadi pemimpin karena lingkungannya mendukung, keadaan dan waktu memungkinkan seseorang bisa menjadi pemimpin. Setiap orang dapat memimpin asal diberikan kesempatan dan diberikan pembinaan untuk dapat menjadi pemimpin meskipun ia tidak memiliki pembawaan atau bakat. Adapun istilah dari teori kepemimpinan sosial ini yaitu “pemimpin itu dibentuk bukan dilahirkan.”
Keempat, teori sifat kepribadian. Teori sifat kepribadian atau trait theory ini mempercayai bahwa orang yang dilahirkan atau dilatih dengan kepribadian tertentu akan menjadikan mereka unggul dalam peran kepemimpinan. Dengan demikian, kualitas kepribadian tertentu seperti keberanian, kecerdasan, pengetahuan, kecakapan, daya tanggap, imajinasi, fisik, kreativitas, rasa tanggung jawab, disiplin dan nilai-nilai lainnya dapat membuat seseorang menjadi pemimpin yang baik.
Dalam konteks kepemimpinan provinsi Bengkulu kita dapat mengidentifikasi teori kepemimpinan mana yang cocok dalam menganalisis pemimpin Bengkulu sejak 4 November 1968 diangkat Muhammad Ali Amin, SH sebagai Pejabat Gubernur Provinsi Bengkulu periode 1969-1974. Setelah itu secara berturut-turut Provinsi Bengkulu dipimpin Drs. H. A. Chalik (Periode 1974-1979); Soeprapto, BA (Periode 1979-1989); Drs. H. A. Razie Yachya (Perode 1989-1994); Drs. H. Adjis Achmad (Periode 1994-1999); H. Andi Jalal Bachtiar (Periode 1999-1999); H. Hasan Zen, SH (Periode 1999-2004); H. Seman Wijoyo (Periode 2004-2005); Agusrin M. Najamuddin (Periode 2005-2012); Junaidi Hamsyah, M.Pd (periode 2012-2015); Ridwan Mukti (periode 2015–2017); dan Dr. H. Rohidin Mersyah (Periode 2017–2021).
PEMIMPIN BENGKULU PILKADA 2020
Pilkada langsung serentak 2020 tinggal hitungan bulan (23 September 2020), pilkada serentak se-Indonesia yang akan diikuti 9 Provinsi dan 224 kabupaten serta 37 kota. Adapun, provinsi Bengkulu menyelenggarakan 9 pilkada langsung yaitu delapan (8) tingkat kabupaten dan tingkat provinsi. Oleh karena itu, belakangan hiruk pikuk politik sudah mulai menyeruak ke permukaan.
Tokoh-tokoh sudah mulai bermunculan dan bermanuver sesuai dengan posisi masing-masing seperti petahana gubernur, petahana walikota, petahana bupati, petahana anggota dewan, petahana birokrat, petahana aparat, para pengusaha dan para akademisi. Tentu secara umum tokoh – tokoh yang mulai berseliweran kesana – kemari “petantang-petenteng” adalah muka-muka lama, kemunculan figur baru akan menjadi bahan “Bully”,Siapo kau ? Berapa modal sanak? Dan pertanyaan lainnya bernada sinis, meremehkan, merendahkan, mengucilkan bahkan menghina. Itulah fenomena politik kita baik skala lokal maupun nasional.
Lebih jelas, sebagai contoh dalam pilkada provinsi Bengkulu. Beberapa tokoh familiar dan populer sudah secara terang menderang menabuhkan gendang maju dalam kontestasi pilkada seperti Rohidin Mersyah, Helmi Hasan, Izda Putra, Agusrin M. Najamuddin, Patrice Rio Capella, Imron Rosyadi, Ahmad Hijazi, Rosjonsyah, Ferry Ramli, Dadang Mishal, Alfiantoni, serta kandidat kurang familiar mewakili generasi muda milenial seperti Andriadi Achmad, dan lain sebagainya.
Harus kita akui dalam pilkada langsung dibutuhkan modal sosial, modal populeritas, modal finansial dan modal-modal lainnya. Oleh karena itu, para kandidat yang akan bertarung dalam pesta pilkada langsung mesti mempersiapkan modal yang dibutuhkan. Semestinya modal-modal tersebut perlu disiapkan sejak jauh-jauh hari. Akan tetapi ditengah geliat media sosial yang mampu menembus batas ruang dan waktu bisa dalam waktu sekejap menyulap kandidat tidak familiar menjadi familiar dan viral.
Beberapa kasus dalam pilkada langsung, kandidat-kandidat unfamiliar, memiliki modal finansial secukupnya mampu mengombrak ambrik lawan tandingnya “petahana” yang nyaris tidak terkalahkan. Contoh terbaru adalah ketika Anies Rasyid Baswedan mampu melumpuhkan kekuatan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) dengan didukung populeritas melangit, finansial unlimited, dan istana memingit. Atau dalam konteks pilkada provinsi Bengkulu tahun 2005 ketika anak muda “entah siapa” Agusrin M. Najamuddin-M.Syamlan mampu melibas semua calon-calon familiar dan tokoh-tokoh lama. Sehingga dalam pilkada langsung penuh dengan kejutan-kejutan sulit terprediksi.
Dalam hal ini, perlu menjadi perhatian para kandidat yang akan bertarung dalam pilkada langsung provinsi Bengkulu tahun 2020.
Pertama, waspada euforia dan megalomania. Euforia berlebihan dengan merasa kemenangan sudah didepan mata perlu untuk dihindari, karena berbagai kemungkinan bisa saja terjadi diluar prediksi. Selain itu, Megalomania dapat diartikan sebagai bentuk obsesi berlebihan yang mendorong seseorang pada kebutuhan terhadap sesuatu bersifat irasional—perasaan kemuliaan dan kebesaran berlebih-lebihan atas eksistensi diri, seolah personal lain tidak ada artinya. Perlu menjadi catatan, populeritas tinggi tidak menjamin berujung pada elektabilitas tinggi.
Kedua, meremehkan dan menyepelekan kehadiran kandidat baru. Sejatinya dalam sebuah peperangan anggap saja semua lawan itu besar dan sulit untuk dikalahkan. Sehingga dalam melangkah dan bergerak selalu waspada serta mempersiapkan senjata dan peluru bahkan tombak yang terbaik, benteng pertahanan yang kokoh serta strategi menyerang tepat dan efektif.
Ketiga, mengkampanyekan politik bersih dan santun. Fenomena money politics dalam pilkada sepertinya sulit untuk terlepas dari bayang-bayang kontestasi pileg, pilpres dan pilkada. Oleh karena itu, high politics dan kesadaran tingkat tinggi semua elemen bangsa atau daerah bisa menjadi batu sandungan berkembangnya kejahatan akut “money politics”.
Keempat, menjadikan kontestasi pilkada langsung adalah ajang adu gagasan, program dan narasi-narasi dalam pembangunan provinsi Bengkulu kedepan. Kita butuh sebuah roadmap pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Provinsi Bengkulu butuh sebuah lompatan besar dalam menggapai sebuah kemajuan dan martabat sebagai sebuah provinsi.
Kelima, semua stokeholder seperti penyelenggara pilkada, kandidat, parpol dan pemerintah musti membuat sebuah komitmen fairfly dalam kontestasi pilkada. Memberikan contoh dan voter education yang baik kepada masyarakat dan bukan sebaliknya malah merusak dan membusukkan kontestasi pilkada. Disini perlu kesadaran tingkat tinggi dan high politics.
Apakah menjadi seorang pemimpin (presiden, Gubernur, Bupati, walikota, camat, kepala desa) adalah sebuah impian? Bengkulu menanti tampilnya sosok pemimpin benar-benar barada di pihak rakyat dan memperjuangkan serta senantiasa menempatkan kepentingan rakyat diatas segala-galanya. Dengan posisi strategis, keberadaan Bengkulu tinggal menunggu pilot terbaik akan membawa maskapai bumi rafflesia take off menuju provinsi maju dan bermartabat. Semoga !


Penulis adalah Bakal Calon Gubernur Provinsi Bengkulu Periode 2020 – 2025;
Dosen FISIP UPN Veteran Jakarta; dan Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC