Achmad Buchari

LEBONG, sahabatrakyat.com– Harga nilam pernah melambung. Saking menggiurkannya, warga di Desa Sebelat Ulu, Kecamatan Pinang Belapis, pernah meninggalkan komoditi yang sudah menjadi tradisi. Ratusan hektar sawah yang semula padi diganti nilam yang dihargai tinggi.
Menurut Kepala Desa Sebelat Ulu, Achmad Buchari, masa jaya nilam itu terjadi sekitar tahun 1990-an. Sedikitnya 200 hektar sawah di desanya tak lagi ditanam padi. Sawah berubah menjadi kebun nilam.
Tapi harga nilam berangsur turun. Setelah sempat dihargai Rp 1,2 juta-1,4 juta per kilogram dari sebelumnya hanya Rp 25 ribu-250 ribu per kg, minyak nilam relatif bertahan di angka Rp 400-600 ribu ribu per kg.
Petani pun mulai berpaling. Sawah yang sudah rata dengan nilam perlahan ditinggalkan. “Harga nilam waktu itu turun. Warga kembali membuka lahan sawah,” kenang Buchari.
Namun luas lahan sawah yang mampu dibuka tak sampai setengah. Menurut Buchari, masih ada sekitar 150 hektar bekas kebun nilam itu yang belum diolah kembali menjadi sawah.
“Kondisi ini sudah terjadi selama 29 tahun terakhir. Lahan di luar dari hutan lindung itu semakin tertimbun dan ditumbuhi pepohonan liar,” katanya, Sabtu (2/3/2019) di Sebelat Ulu.
Saat ini, lanjut Buchari, hamparan persawahan milik warga di desanya tinggal seluas 60 hektar. Ratusan hektar lahan yang sudah tertimbun dua puluhan tahun itu belum mampu dikembalikan menjadi lahan persawahan.
“Warga tidak punya modal mau buka lahan karena sudah tertimbun pepohonan liar,” katanya.
Pemerintah Desa Sebelat Ulu bukan tak berupaya agar lahan itu bisa kembali digarap warga. Kepada pemerintah daerah, anggaran pembukaan lahan itu sudah diusulkan demi mendorong peningkatan hasil pertanian. Namun hingga kini belum ditindak-lanjuti.
“Usulan melalui Musrenbang sudah sering kita ajukan,” tandasnya.


Pewarta: AKA BUDIMAN
Editor: Jean Freire