Andriadi Achmad

 
JAKARTA, sahabatrakyat.com –  Pengamat Politik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta, Andriadi Achmad menilai wacana pendirian partai Gelora (Gelombang Rakyat) oleh eks fungsionaris PKS Anis Matta, Fahri Hamzah dan tokoh lainnya merupakan sesuatu berita yang luar biasa dan tidak terprediksi sebelumnya.
“Secara realitas tak berlebihan kalau membahasakan semua parpol berdiri pasca reformasi sudah terpecah belah seperti Golkar melahirkan PKPB, PKPI, Demokrat, Gerindra, Hanura, Nasdem, Berkarya. PDIP terbelah menjadi Partai Pelopor, PDI Marhaenisme dan lain-lain. PPP pecah menjadi PBR; PKB pecah menjadi PKNU, PKBIB; Nasdem melahirkan Perindo, dan perpecahan partai politik lainnya,” ungkap Andriadi Achmad.
Direktur Eksekutif Nusantara Institute PolCom SRC (Political Communication Studies and Research Centre) ini mengutarakan bahwa soliditas PKS selama dua dekade menjadi fenomena tersendiri ditengah-tengah gelanggang politik Indonesia. PKS dikenal sebagai parpol yang tidak melekat pada figuritas sentral tokoh, tetapi kepemimpinan kolektif.
Selain itu, PKS dikenal sebagai partai dengan loyalitas dan militansi kadernya. Akan tetapi, pada akhirnya goyah dan menyerah ditandai dengan berdirinya Partai Gelora.
“Perpecahan di tubuh PKS, sebenarnya sangat disayangkan, tapi itulah politik “tiada kawan dan lawan abadi.” Hari ini teman, besok jadi musuh atau sebaliknya. Hemat saya, jika PKS tidak mengalami fragmentasi, dengan kekuatan sebagai oposisi terhadap pemerintah 2019-2024, peluang untuk menjadi pemenang terbuka lebar,” analis Andriadi Achmad.
Regenerasi kepemimpinan lima tahunan rutin secara bergantian, bahkan di PKS sesuatu hal tabu bila sebagai pimpinan lembaga atau pejabat publik masih merangkap presiden PKS. Seperti Nur Mahmudi Ismail digantikan Hidayat Nurwahid ketika diangkat menjadi Menteri Kehutanan tahun 1999, HNW diganti Tifatul Sembiring ketika diangkat sebagai Ketua MPR RI Periode 2004-2009, Tifatul Sembiring digantikan Lutfie Hasan Ishaq ketika diangkat menjadi Menteri Informasi dan Komunikasi 2009 – 2014.
“Sebagai partai modern, PKS tidak mengandalkan figuritas tokoh sentral seperti parpol lainnya dan terjadi regenerasi secara rutin dilakukan setiap lima tahunan. Bahkan PKS tidak boleh dipimpin individu yang sudah memimpin satu periode, maka terjadinya regenerasi rutin,” urai mantan Aktivis Gerakan Mahasiswa Indonesia pasca Reformasi Era 2000-an ini
Andriadi menilai bahwa perpecahan di tubuh PKS mengingatkan kita pada sejarah berdirinya AKP di Turki yang didirikan Erdogan dan Abdullah Gul yaitu mantan fungsioaris Partai Refah (Erbakan). Pendirian AKP tentunya menggerus suara partai Refah, bahkan diawal pendirian AKP dimana keberadaan Erdogan dan Abdullah Gul disinyalir pengkhianat serta keluar dari Ikhwanul Muslimin yang berafiliasi dengan Partai Refah (Partai Felicity).
“Pendirian Partai Gelora terkesan mirip dengan berdirinya AKP di Turki dengan meninggalkan partai Refah (Partai Felicity). Hengkangnya fungsionaris partai Refah Abdullah Gul dan Erdogan mempengaruhi keberadaan Partai Refah. Bahkan 1998 partai Refah dibubarkan dan menjadi partai terlarang oleh pemerintah Turki,” ujar alumni pasca sarjana Ilmu Politik UI ini.
Wacana pendirian dan deklarasi Partai Gelora di Oktober 2019, kata Andriadi, bisa membawa pengaruh signifikan akan eksistensi PKS ke depan.
Oleh karena itu, lanjut Andriadi, PKS mestinya mempersiapkan diri setelah hengkangnya fungsionaris PKS yang selama ini kerap hingar bingar di jagat perpolitikan Indonesia. Eksistensi PKS sejak pemilu 2004 sampai dengan pemilu 2019 tidak beranjak dari parpol papan tengah. Oleh karena itu, pemilu 2024 merupakan ujian terberat PKS.
“Eksistensi PKS pada Pemilu 2024 sangat rentan disebabkan perpecahan dan keluarnya fungsionaris baik nasional maupun tingkat daerah. Jika PKS bisa melewati ujian dan lolos parliamantary threshold. Maka bisa saja PKS ke depan menjadi partai papan atas. Sebaliknya, jika PKS tidak sanggup menghadapi Pemilu 2024, apakah masih bisa eksis dan bertahan?” tutup Andriadi.