Joni Wijaya, salah seorang kontraktor yang terjaring OTT KPK bersama Lily Ridwan Mukti

JAKARTA, sahabatrakyat.com– Pasca-operasi tangkap tangan (OTT), KPK terus menggeber proses penyidikan kasus dugaan suap yang menjerat Gubernur Bengkulu non-aktif Ridwan Mukti dan istrinya Lily Martiani Maddari serta dua pengusaha, Rico Dian Sari dan Jhoni Wijaya.
Perkembangan terbaru, dalam rangka mendalami proses dan rangkaian peristiwa pada saat indikasi pemberian suap itu, KPK sudah memeriksa Rico Dian Sari alias Rico Chan dan Jhoni Wijaya alias Jon Statika, Selasa (4/7/2017).
“Untuk kasus Bengkulu tindak lanjut dari operasi tangkap tangan yang kami lakukan, hari ini kami lakukan pemeriksaan dua saksi dari pihak swasta. Kami mendalami proses dan rangkaian peristiwa pada saat indikasi pemberian terjadi terhadap tersangka Ridwan Mukti (RM),” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa seperti dikutip ANTARA.
Febri mengatakan, KPK juga mengklarifikasi beberapa bukti yang sudah didapatkan dalam proses penggeledahan dan penyitaan yang sebelumnya dilakukan penyidik KPK di Bengkulu.
“Penyidik kemarin menggeledah di tujuh lokasi terkait penyidikan tindak pidana korupsi suap terkait proyek-proyek di lingkungan Provinsi Bengkulu Tahun Anggaran 2017,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Kamis (22/6).
Tujuh lokasi yang digeledah itu antara lain dua rumah dan satu kantor milik tersangka Jhoni Wijaya (JHW) di kota Bengkulu dan Kabupaten Rejang Lebong, kantor tersangka Rico Dian Sari (RDS) di kota Bengkulu, kantor Gubernur Bengkulu, rumah pribadi tersangka Ridwan Mukti (RM), dan kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bengkulu.
Febri mengatakan penyidik KPK menyita sejumlah dokumen proyek dan barang bukti elektronik berupa handphone dan kamera pengawas atau CCTV dari lokasi penggeledahan itu.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, saat konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Rabu (21/6/2017), mengatakan, setelah melakukan pemeriksaan 1X24 jam, dilanjutkan gelar perkara, disimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah atau janji oleh Gubernur Bengkulu terkait dengan fee proyek dan meningkatkan status penanganan perkara ke penyidikan serta menetapkan empat orang tersangka.
Diduga sebagai penerima, kata Alexander, yaitu Gubernur Bengkulu 2016-2021 Ridwan Mukti (RM), Lily Martiani Maddari (LMM) berprofesi sebagai Ibu Rumah Tangga atau istri Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, dan Rico Dian Sari (RDS) berprofesi sebagai pengusaha.
“Sedangkan diduga sebagai pemberi adalah Direktur PT Statika Mitra Sarana (SMS) Jhoni Wijaya (JHW),” kata Alexander.
Menurut Alexander, diduga pemberian uang terkait fee proyek yang dimenangkan PT SMS di Provinsi Bengkulu dari komitmen 10 persen perproyek yang harus diberikan kepada Gubernur Bengkulu melalui istrinya.
Ia mengatakan dari dua proyek yang dimenangkan PT SMS, dijanjikan Rp4,7 miliar (setelah dipotong pajak) dari dua proyek di Kabupaten Rejang Lebong.
“Yaitu proyek pembangunan atau peningkatan jalan TES-Muara Aman Kabupaten Lebong dengan nilai proyek Rp37 miliar dan proyek pembangunan atau peningkatan jalan Curup-Air Dingin Kabupaten Rejang Lebong dengan nilai proyek Rp16 miliar,” katanya.
Sebagai pihak yang diduga pemberi, Jhoni Wijaya (JHW) disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Ancaman hukuman minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Sementara sebagai pihak yang diduga penerima Rico Dian Sari (RDS), Lily Martiani Maddari (LMM), dan Ridwan Mukti (RM) disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pasal itu mengatur mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya dengan hukuman minimal 4 tahun penjara dan maksimal 20 tahun penjara dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
================
Editor: Jean Freire
Sumber: ANTARA