Oleh: DMS. Harby*
Buya Endar membantah narasi sejarah yang menyatakan bahwa suku Rejang berasal dari Majapahit. Bantahan itu tidak begitu saja Beliau sampaikan tanpa alasan. Setidaknya, ada tiga poin yang menjadi alasan penolakannya. Seperti yang disampaikannya pada bagian pertama dari sepuluh tulisan di akun Facebooknya itu.
Pertama, bahwa di Tanah Rejang tidak sedikitpun ada ciri kebudayaan Jawa. Baik dari segi adat, pakaian maupun bahasa. Kedua, Majapahit menganut agama Hindu, sementara pemuka masyarakat di Tanah Rejang kala itu bergelar “Bikeu”, kata lain dari “biku” atau “bhikkhu” atau “biksu”. Sedangkan gelar biku ini identik dengan gelar bagi pemuka agama Budha.
Pada bagian kedua serial catatan sejarah Rejangnya yang diposting pada 28 September 2016, Buya Endar menegaskan hubungan istilah biku tersebut dengan para tokoh leluhur suku bangsa Rejang. Sebagaimana diketahui secara umum dalam sejarah, suku bangsa Rejang berasal dari empat “Petulai”. Petulai ini semacam suatu kesatuan hukum masyarakat Rejang kala itu. Tiap-tiap petulai itu dipimpin oleh seseorang yang disebut “Ajai”.
Ajai ini berasal dari “Majai”. Sebuah kosa kata Rejang yang berarti pemimpin suatu kumpulan manusia. Berarti, dengan keberadaan empat petulai itu terdapat pula empat ajai. Pada zaman ajai-ajai ini, Lebong sebagai daerah asal muasal suku bangsa Rejang masih bernama “Renah Sekalawi” atau “Pinang Belapis”. Sementara Palembang, kala itu, pun masih bernama “Selebar Daun”. Bengkulu bernama “Limau Nipis” atau “Sungai Serut”.
Keempat ajai itu dengan masing-masing petulainya menetap di wilayahnya. Ajai Bintang menetap di Pelabai, di Marga Suku IX Lebong sekarang. Ajai Bagelan Mato di Kutei Belek Tebo, di Marga VIII Lebong sekarang. Ajai Siang di Siang Lakap, di Marga Jurukalang Lebong sekarang. Ajai Tiea Keteko di Bandar Agung, di Marga Suku IX Lebong sekarang.
Adapun masa kepemimpinan para ajai ini di sekitar Abad XIV. Yaitu di masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk Rajasa Negara (1350-1389 M). Maka datanglah ke Renah Sekalawi (Pinang Belapis) kala itu empat orang biku yang konon kakak beradik. Keempat biku ini adalah Biku Sepanjang Jiwo, Biku Bembo, Biku Bejenggo dan Biku Bermano.
Pada seri ketiga catatan sejarah Rejang yang diposting di akun Facebooknya pada 29 September 2016, Buya Endar menjelaskan ihwal kedatangan empat biku tersebut ke Ranah Sekalawi. Tentu saja hubungannya dengan kekuasaan Raja Hayam Wuruk dan peran Maha Patih Gajah Mada. Serta kebesaran kerajaan Majapahit.
Pada masa kekuasaan Raja Hayam Wuruk inilah kebesaran Majapahit meluas kemana-mana. Termasuk menaklukkan kerajaan Sriwijaya pada tahun 1377 M. Perluasan ini tentu saja tidak terlepas dari peran aktif Maha Patih Gajah Mada. Jika ditinjau dari sudut sejarah, maka penaklukan Majapahit terhadap Sriwijaya ini ternyata tidak diikuti oleh pengurusan Sriwijaya sebagai bagian dari pemerintahan Majapahit.
Sriwijaya ternyata justru dibiarkan begitu saja oleh Majapahit setelah penaklukan itu. Majapahit tidak memberikan perhatian sama sekali terhadap Sriwijaya sebagai wilayah taklukannya itu. Maka, di sinilah letak permasalahan sejarah itu muncul. Apakah benar keempat biku tersebut di atas merupakan utusan dari kerajaan Majapahit?
Apakah mungkin bagi Majapahit yang Hindu mengutus keempat tokoh yang bergelar biku yang identik dengan gelar tokoh Budha itu? Tentu saja tidak, jawab Buya Endar langsung. Sebab, terdapat beberapa fakta yang membuatnya menjawab tidak.
Fakta pertama, bahwa keempat biku itu memasuki Renah Sekalawi dari jalur pesisir Barat, bukan dari pesisir Timur Sumatera. Mereka datang ke dan pergi dari Renah Sekalawi melalui sungai Ketahun, bukan melalui sungai Musi. Kenapa demikian? Karena sungai Ketahun merupakan akses termudah dan terdekat dari tempat asal mereka. Sebuah kerajaan di pesisir Barat Sumatera.
Kerajaan itu adalah Melayu yang sebelumnya juga sudah ditaklukkan oleh Majapahit. Melayu telah menjadi bagian dari pemerintahan Majapahit tetapi bukan merupakan Majapahit itu sendiri. Melayu menganut agamanya sendiri yaitu Budha dan dipimpin oleh raja muda yang sangat terkenal pada zamannya. Raja Adicawarman (Aditiawarman).
Fakta kedua, bahwa satu dari keempat biku itu, Biku Sepanjang Jiwo, mudik. Sebagai penggantinya, kerajaan Melayu mengirim Raja Megat. Pengutusan Raja Megat ini menjadi penguat hubungan Renah Sekalawi dengan Melayu.
Sebab, kalaulah keempat biku itu berasal dari Majapahit, tentulah mereka mudik ke Majapahit. Tentu pula Majapahit mengutus tokohnya ke Renah Sekalawi. Wajar pula jika kemudian tokoh itu menjadi terkenal di Renah Sekalawi.
Akan tetapi, yang terkenal di Renah Sekalawi ini justru Rajo Megat dan keempat biku tersebut. Para tokoh yang berasal dari Melayu, kerajaan di pesisir Barat yang terdekat dari Renah Sekalawi. Kerajaan yang berada di wilayah bagian Barat Sumatera tepatnya Sumatera Barat. Kerajaan ini, setelah Buya Endar menelusurinya, tak lain adalah Pagaruyung.
Penulis alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Curup, Pesantren Arrahmah Curup dan Pesantren Nurul Huda Sukaraja OKU Timur. Selain Ketua PC Tarbiyah-PERTI Rejang Lebong dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong, juga Ketua Bidang Pendidikan Yayasan PPNH Sukaraja.