Oleh: DMS. Harby
Persatuan Tarbiyah Islamiyah merupakan organisasi sosial kemasyarakatan (ormas) yang secara lugas dan tegas berkaitan dengan dunia pendidikan agama Islam di Indonesia. Dilihat dari penamaannya yang berarti persatuan pendidikan keislaman, menunjukkan bahwa organisasi ini mengidentikkan dirinya sebagai perkumpulan yang memiliki fokus terhadap dunia pendidikan agama Islam. Dilihat dari segi pilihan warnanya yang ada pada lambangnya, pilihan warna merah dan putih, selain hitam yang lebih menonjol, menunjukkan lokusnya yang identik dengan dwiwarna bendera Indonesia.
Sementara dari sisi sejarahnya, organisasi ini memang bermula dari sebuah forum permusyawaratan besar yang dilaksanakan pada tanggal 05 Mei 1928 di Surau Baru, Candung, Bukittingi, Sumatera Barat. Surau Baru Candung sendiri didirikan oleh Syaikh Sulaiman Arrasuly pada tahun 1908. Dua puluh tahun sebelum penyelenggaraan forum permusyawaratan besar tersebut. Surau ini dipilih mengingat peran sentral tokoh dan lembaganya dalam proses perkembangan surau-surau di Ranah Minang kala itu.
Inyiak Canduang, Tradisionalisme Surau & Modernisasi Pendidikan Islam
Inyiak Candung (panggilan bagi Syaikh Sulaiman Arrasuly) merupakan murid dari Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy (salah seorang Mufti Mekkah Al Mukarromah dari Minangkabau Nusantara) yang juga memiliki murid di antaranya Syaikh Hasyim Asy’ary (Pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama) dan Syaikh Ahmad Dahlan (Pendiri Persyarikatan Muhammadiyah). Surau Baru, sama seperti surau-surau lainnya di Minangkabau, berjalan dengan pendidikan keislamannya lewat metode halaqi dimana murid duduk membuat lingkaran (halaqah) dan guru berada di salah satu titik (bisa segaris atau maju dan mundur sedikit dari barisan murid) lalu mentransfer ilmunya dengan media pembelajaran yang berupa kitab kuning.
Dalam proses pembelajaran yang konvensional dan tradisional waktu itu, kompetensi yang ditekankan sederhana tetapi lugas; murid mampu membaca isi kitab sesuai bacaan guru. Sementara teknis pengajaran ada dua; Model Kuliah Umum (MKU), di Jawa disebut Metode Bandongan, dimana guru membacakan kitab sembari memberikan uraian sesuai keperluan pengajaran dan pendidikan, sementara murid memberi makna pada kitab mereka masing-masing sembari mendengarkan kuliah guru.
Kemudian dengan Model Setoran Bacaan (MSB), di Jawa disebut Metode Sorogan, dimana satu persatu murid, berdasarkan giliran atau panggilan guru, membaca (di depan gurunya persis) hasil belajarnya berupa pemberian makna kitab kuning sembari menjawab pertanyaan guru, jika diperlukan, terkait susunan bahasa (tarkib atau grammar), yang dimaksud dalam teks kitab (murad) serta pemahaman murid secara lebih luas.
Proses pengajaran dan pendidikan keislaman model halaqi telah berlaku sejak lama di Nusantara. Sistem ini mendapat revisi kemudian, terutama, tampaknya, setelah murid-murid Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawy, seperti Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ary dan Sulaiman Arrasuly dan amat terbuka sekali kemungkinannya jika tokoh pendiri organisasi kemasyarakatan Islam di Nusantara yang lain juga merupakan murid dari Syaikh Ahmad Khatib.
Revisi terhadap sistem pengajaran dan pendidikan Islam tradisional itu terkesan, belakangan, seakan milik Persyarikatan Muhammadiyah semata. Hal ini mungkin mengingat langkah organisasinya memang melakukan revisi terhadap motiv dan corak tradisional gerakan Islam secara keseluruhan (tidak hanya di bidang pendidikan saja). Padahal, sejatinya, upaya revisi sistem pengajaran juga terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berafiliasi dengan organisasi lainnya. Seperti pesantren-pesantren dalam lingkungan Jami’yah Nahdlatul Ulama pun, pada paruh waktu yang berdekatan dengan upaya revisi dari Muhammadiyah, juga melakukan upaya penyesuaian pendidikan mereka seperti yang terjadi di Pesantren Tebuireng Jombang.
Demikian pula halnya yang terjadi dengan surau-surau yang menyelenggarakan pendidikan Islam secara tradisional di Minangkabau yang dikenal pula dengan istilah Kaum Tuo. Revisi terhadap proses, praktek dan sistem pengajaran dan pendidikan yang tradisional dan konvensional itu juga terjadi. Bahkan, secara periodik, diakui sebagai awal bagi gerakan revisi terhadap sistem pengajaran dan pendidikan Islam model pesantren (pendidikan tradisional) dari dalam. Hal ini sebagaimana disebut oleh KH. Abdurrahman Wahid (Presiden RI IV, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dan cucu Hadhratus Syaikh Hasyim Asy’ary) dalam buku bunga rampai tulisan kepesantrenannya yang berjudul Menggerakkan Tradisi (LKiS : 2001).
Kilas Sejarah Tumbuhnya Organisasi Persatuan Tarbiyah Islamiyah
Adalah Syaikh Abbas, Qadhi Mahkamah Syar’iyah di Bukittinggi yang merupakan tokoh sentral Kaum Tuo yang memulai praktek revisi terhadap sistem pendidikan tradisional Islam ‘ala surau-surau di Minangkabau kala itu. Meski mayoritas Kaum Tua menolak mayoritas ide dan langkah Kaum Muda yang revisionis terhadap sistem tradisional Islam yang bertema pembaharuan dan berjudul modernisasi itu, Syaikh Abbas Qodhi mendirikan sekolah modern bernama Arabiyah School dalam suraunya di Ladang Lawas Bukittinggi tahun 1918 dan Islamiyah School di Aur Tajungkang Bukittinggi pada tahun 1924 (Alaidin Koto dkk. melaporkan dalam buku Sejarah Perjuangan Persatuan Tarbiyah Islamiyah di Pentas Nasional. Tarbiyah Press, 2006 : 56-57).
Pendidikan surau, lanjut Alaidin dkk., sejatinya telah teruji lebih bertahan sebagai lembaga pendidikan agama sekaligus adat dan otomatis juga bela negara. Ini setelah sebelumnya sejak tahun 1840-an hingga 1870-an coba ditandingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan upaya pembentukan Sekolah Nagari di Minangkabau. Upaya Kolonial itu justru semakin melemah setelah berdirinya lembaga-lembaga pendidikan dengan tema Sekolah Rakyat yang sejatinya merupakan reorganisasi Sekolah Nagari yang bermotiv juga anti penjajahan sebagaimana semangat dasar yang terkandung dalam lembaga pendidikan surau. Tersebarnya “pendidikan sekuler” dalam bentuk sekolah nagari kala itu sama sekali tidak memusnahkan surau. Sebaliknya, surau justru berhasil memasukkan sejumlah karakter pendidikannya pada sistem sekolah nagari.
Maka, dengan berdirinya sekolah modern yang berbasis pendidikan surau itu, sejatinya dapat dibaca bagaimana respon Kaum Tua terhadap gerakan modernisasi Kaum Muda. Seperti pembacaan Karel A. Steenbrink yang dalam laporan penelitiannya yang menjadi buku berjudul Pesantren, Madrasah dan Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Moderen ia menyebutkannya sebagai sikap Kaum Tua di Minangkabau, yang kemudian lewat organisasi Perti, merespon gerakan modernisasi sistem tradisional Islam dengan Menolak Sambil Mengikuti. Ini bahkan dituliskannya menjadi judul Sub 7 dari Bab I bukunya itu (Steenbrink, 1974 : 116-117). Pernyataan ni tampak menyatakan Mendukung pen
Sikap ini seperti di NU, sesungguhnya merupakan warisan nilai tradisional Islam yang khas Sunni Syafi’i. Bersumber dari khazanah ilmu sumber hukum Islam (fiqh dan ushul fiqh) dengan diktum Qaidah Fiqhiyyah yang berbunyi almuhaafadzhatu ‘alal qadiimish shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah. Yang berarti melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik. Hampir sebangun dan senafas dengan adagium yang berbunyi meneguhkan tradisi dan mencerahkan peradaban.
Dalam kajian sosiologi perubahan sosial, apa yang terjadi antara Kaum Tua dan Kaum Muda itu sesungguhnya lumrah. Meski kedua kelompok itu berada dalam posisi yang berseberangan, tapi sesungguhnya mereka berada di dalam tema yang sama yaitu perubahan struktur dan kultur tradisional gerakan Islam di Minangkabau. Meski yang pertama mengambil posisi kontra dan yang kedua mengambil posisi pro terhadap gerakan modernisasi Islam, tapi sesungguhnya interaksi keduanya, meski berada dalam perdebatan yang amat sengit dan tak jarang berujung pada konflik fisik, telah menyebabkan masing-masing pihak menjadi faktor pembentuk bagi sekaligus yang dibentuk oleh proses perubahan sosial dimaksud. Hal yang disebut Archer, sebagaimana diungkapkan Piotr Sztompka bukunya Sosiologi Perubahan Sosial, sebagai Morphogenesis Agen (Sztompka, 2004 : 234-235).
Strategi Menolak Sambil Menerima Modernisasi oleh Kaum Tua yang dimotori Syaikh Abbas ini dianggap penting juga untuk dikembangkan oleh lembaga pendidikan tradisional Islam atau surau-surau pada umumnya di Minangkabau. Sehingga Syaikh Abbas sendiri menghimbau kepada Syaikh Sulaiman Arrasuli yang juga merupakan pimpinan Persatuan Ulama Sumatera dan Ittihad Ulama Minangkabau yang berdiri pada bulan Juni 1921, organisasi tandingan bagi Perkumpulan Guru Agama Hindia Belanda yang didirikan Kaum Muda pada bulan April 1916 di Padang.
Himbauan lewat surat itu, menurut Alaidin, datang pada suatu hari di tahun 1926 yang berintikan pesan kepada Inyiak Candung untuk juga mendirikan sistem pendidikan modern di dalam pendidikan suraunya. Inyiak Candung kemudian bermufakat dengan para murid (urang siak istilahnya di Ranah Minang dan di Jawa disebut santri) Surau Baru Candung. Hasilnya, dengan antusias para murid meminta agar sang Buya merealisir saran tersebut dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Mulai tahun itulah Surau Baru Candung merubah pola halaqi menjadi madrasi dan menamakan madrasah yang didirikan di suraunya itu menjadi “Tarbiyah Islamiyah”. Langkah ini ternyata diikuti pula oleh kawan-kawan beliau, mengingat posisi sentralnya sebagai pimpinan mereka, dengan menggunakan pola dan nama yang sama yaitu Madrasah Tarbiyah Islamiyah.
Sehingga berlangsunglah forum 5 Mei 1928. Forum ini memiliki tema utamanya adalah upaya modernisasi kurikulum dan metode pendidikan yang telah diselenggarakan sejak lama sebelumnya di wilayah Minangkabau. Materi pembahasan adalah upaya menyesuaikan keadaan pendidikan Islam dengan kebutuhan zaman. Salah satunya adalah bagaimana mengubah Sistim Pendidikan Halaqi menjadi Sistem Pendidikan Madrasi yang kemudian menjadi sebuah kesepakatan bersama mereka yang berkumpul dalam forum tersebut. Indikator proses pembaharuan ini adalah berdirinya organisasi Persatuan Madrasah Tarbiyah Islamiyah (PMTI), meski tidak formal, pada forum itu.
Perkembangan madrasah-madrasah Tarbiyah Islamiyah kemudian, menurut Alaidin, menjadi begitu pesat yang membuat gerakan Kaum Tua menjadi semakin mekar. Sehingga timbul keinginan untuk menjadikan PMTI sebagai organisasi yang tidak hanya mengurus madrasah, tetapi juga untuk menampung, mempersatukan dan menjadi wadah berhimpun segenap ulama tradisional serta bergerak dalam bidang sosial lainnya. Keinginan itu diwujudkan dalam Konferensi Besar di Candung pada tanggal 19-20 Mei 1930 dengan kesepakatan merubah PMTI menjadi Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PTI).
Meski PTI dicetuskan pada Konferensi Besar di bulan Mei tahun 1930, namun karena PTI lahir dari PMTI, maka ditetapkanlah bahwa hari kelahiran PTI adalah 5 Mei 1928. Keberhasilan yang dicapai pada Konferensi Besar itu tampaknya juga berdampak pada hubungan organisasi dengan pemerintah. Dimana setahun setelah Konferensi Besar itu diadakan, Inyiak Candung mendapat anugerah Bintang Perak Besar (Grote Zilveren Star) dari Pemerintah Hindia Belanda. Penganugerahan ini dimaksudkan untuk menghargai jasa beliau dalam mewujudkan kerjasama yang harmonis antara ulama dan kaum adat. Motiv politik pemerintah terhadap Kaum Tua memang tampak jelas dalam penganugerahan itu. Namun hal itu dianggap positiv oleh ulama sebagai peluang untuk memperbesar kekuatan pengaruh terhadap pemerintah.
Itu ditegaskan dengan diadakannya semacam pertemuan untuk merayakan apresiasi pemerintah itu dalam bentuk Rapat Besar di Batu Hampar. Pertemuan itu juga digunakan untuk membenahi organisasi yang masih teramat muda. Di forum ini juga terjadi peralihan kepengurusan. Dan mungkin karena telah terjadi peralihan pengurus, Kongres yang semula diagendakan 1931, akhirnya terlaksana pada tahun 1932.
Kongres I, 1932 ini, memunculkan gagasan mengganti nama organisasi menjadi Persatuan Islam Indonesia (PII) dari kalangan angkatan muda yang kemudian disetujui oleh mayoritas peserta Kongres. Gagasan ini didasarkan oleh semangat nasionalisme yang dihembuskan oleh Moehammad Hatta, keturunan elit Kaum Tua yang kala itu baru pulang dari Belanda. Aktivis Persatuan Murid Tarbiyah Islamiyah (PMTI) dari MTI Candung, Jaho dan Pariaman kemudian berkumpul membentuk wadah yang bernama Pendidikan Pemuda Islam Indonesia. Tampaknya ini disengaja sebagai sayap gerakan memompa dan mengorganisir semangat nasionalisme generasi muda Kaum Tua di Minangkabau termasuk di arena Kongres I PTI dengan ide dan semangat mereka yang begitu menyala dengan mengganti nama organisasi menjadi PII.
Ide yang telah sempat menjadi keputusan Kongres I PTI itu memang diterima oleh para ulama Tarbiyah Islamiyah mengingat itu didukung oleh mayoritas peserta Kongres I yang memang didominasi generasi muda. Akan tetapi, demi mempertimbangkan potensi dampak yang ditimbulkan dari aksi itu terhadap PTI yang baru seumur jagung, kelompok ulama mengusulkan pembatalan keputusan penggantian nama organisasi. Kekhawatiran itu terutama sekali akan dampak reaktif pemerintah Hindia Belanda yang ditakutkan merespon amat negatif pemunculan kata Indonesia dalam penggantian nama organisasi PTI. Usulan itu menimbulkan kekecewaan dan penolakan angkatan muda. Bahkan salah seorang dari angkatan muda itu yang merupakan alumni MTI Candung, lapor Alidin dkk., yang bernama Yoesoef Soe’ib, memilih untuk bergabung dengan Muhammadiyah.
Sikap penolakan generasi muda terhadap usulan pembatalan penggantian nama organisasi itu memang menimbulkan amarah besar kalangan ulama terhadap generasi muda Tarbiyah Islamiyah. Mereka mengenyampingkan hasil Kongres dan menguasai organisasi sepenuhnya. Kondisi ini kemudian menyebabkan stagnasi aktifitas organisasi PTI hingga tahun 1934. Dan pengaruh yang dominan dari generasi tua dalam organisasi Kaum Tua ini begitu tergambar. Dimana meski aktifitas administrasi dan pertemuan organisasi terhenti, tidak demikian halnya dengan aktifitas pendidikan PTI lewat pengajian (tabligh dan ta’lim) di surau-surau dan dengan proses serta kegiatan belajar mengajar di madrasah-madrasahnya.
Yang juga tampak jelas dalam proses ini adalah kemampuan “menahan diri” generasi muda terhadap generasi tua yang tak lain merupakan guru mereka. Ini tentu merupakan hasil dari proses pendidikan MTI yang boleh dikatakan berhasil bagi generasi muda itu. Dimana dalam pemahaman yang mereka dapatkan dalam tradisi pendidikan yang mereka jalani yang berintikan Sunni Syafi’i itu, bahwa guru adalah juga merupakan orang tua mereka. Karena itu tidak ditemukan gerakan terorganisir generasi muda yang, walau merasa benar dan bertindak atas dasar hukum yang jelas (konstitusional sebagai produk Kongres), kemudian melakukan perlawanan frontal terhadap generasi tua dalam organisasi Kaum Tua ini.
Sehingga ketika generasi tua melakukan pemanggilan seluruh pengurus dan penasehat pada tahun 1935 untuk mengadakan rapat lengkap di Candung dan menunjuk H. Sirajuddin Abbas, untuk memangku jabatan Ketua Pengurus Besar PTI. Tokoh kelahiran 05 Mei 1905 di Bengkawas Bukittingi ini tak lain adalah putera dari Syaikh Abbas Ladang Lawas. Sementara Sayikh Abbas sendiri adalah Qodhi Bukittinggi dan pendiri Adabiyah School dan Islamiyah School serta inisiator modernisasi pendidikan Surau Baru Candung dari SPH ke SPM yang menjadi kiblat pendirian Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Minangkabau.
Dalam Konferensi tanggal 11-16 Februari 1935 di Bukittinggi berhasil diterbitkan Majalah Soearti dan disusun Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi yang pada saat itu juga diganti singkatan namanya dari PTI menjadi Perti. Dengan tempat dan kedudukan berpusat di Bukittinggi, berazaskan Islam dan bertujuan;
1. Berusaha memajukan pelajaran, pendidikan agama Islam, dan bersangkutan dengan itu.
2. Menyiarkan dan mempertahankan agama Islam dari segala serangan.
3. Berdaya upaya memajukan perusahaan.
4. Memperkokoh amal ibadat serta memperbanyak syiarnya.
Bila ketentuan itu dapat ditemui dalam pasal 4, maka pasal 5 ditegaskan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut perlu diadakan ikhtiar yang tidak berlawanan dengan ketentuan umum, serta berbimbingan tangan dengan adat yang baik di setiap negeri.
Rumusan AD dan ART ini disempurnakan dan disahkan kembali dalam Kongres II pada 3-5 April 1935 di Bukittinggi. Dalam Kongres itu azas organisasi dilengkapi menjadi “Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti) berazaskan Islam yang dalam i’tikad menurut faham Ahl al-Sunnah wal Jama’ah dan dalam syari’at menurut madzhab Imam Syafi’i”. Sementara tujuan organisasi diperjelas menjadi;
1. Berusaha memajukan pengajaran agama Islam dan memperbaiki sekolah-sekolah agama bagi bangsa putera seluruhnya.
2. Memperkuat dan memperkukuh “adat nan kawi, syara’ nan lazim” dalam setiap negeri.
3. Memperhatikan kepentingan ulama, guru-guru sekolah agama seluruhnya, terutama sekolah-sekolah Tarbiyah Islamiyah.
4. Memperkukuh silaturahmi antara sesama anggota.
5. Mempertahankan agama Islam yang suci dari segala serangan.
Menurut Alaidin, ada dua hal yang bisa kita petik sebagai kesan dari apa yang ingin diemban dan dilestarikan oleh PTI: Pertama, adat yang tidak bertentangan dengan agama; Kedua, Islam dalam Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Madzhab Imam Syafi’i. Itu terekam dalam upaya maksimal PTI dalam Piagam Kerjasama Kaum Ulama (PTI) dengan Kaum Adat yang menghasilkan Majelis Kerapatan Adat Alam Minangkabau pada tahun 1939 yang menegaskan relasi agama dengan adat dengan semboyan “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Adat” yang kemudian disempurnakan menjadi “Adat Bersendi Syara’, Syara’ Bersendi Kitabullah. Syara’ Mengatakan, Adat Memakai”.
Integrasi agama dan adat inilah yang disinyalir Alaidin sebagai faktor yang menyebabkan organisasi Perti memang mendapatkan sokongan secara meluas dari masyarakat Minangkabau sampai kemudian melebarkan sayap ke daerah-daerah yang jauh dari tempat kelahirannya. Seperti yang dilakukan oleh M. Zen Wahidy, seorang alumni MTI Candung, yang tercatat sebagai pendiri Perti di kampung halamannya, Desa Tanjung Barulak, Kecamatan Air Tiris, Kabupaten Kampar, Riau, pada awal tahun 1940-an. Yang kemudian, bersama kawan-kawannya juga mendirikan madrasah-madrasah Perti di sana. Sementara di Lubuk Jambi, Perti dibawa masuk oleh putera daerahnya yang bernama Makrifat Marjani yang menamatkan pendidikan di MTI Bayur, Maninjau, pada tahun 1930-an. Lewat pintu dua daerah inilah kemudian Perti berkembang pesat di Riau yang melahirkan banyak Madrasah Tarbiyah dan halaqah tarekat.
Penulis: Alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Curup, Pesantren Arrahmah Curup dan Pesantren Nurul Huda Sukaraja OKU Timur. Ketua PC Tarbiyah-PERTI Rejang Lebong dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong.