Oleh: DMS. Harby*
Catatan sebelumnya menegaskan tentang ihwal kedatangan empat biku dari kerajaan Melayu Pagaruyung ke Renah Sekalawi. Berikut keterkaitan mereka dengan Majapahit di masa Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada. Juga dengan penaklukan Sriwijaya.
Maka, pada bagian keempat dari serial catatan sejarah Rejangnya yang diposting pada 30 September 2016, Buya Endar mengemukakan bagaimana proses datangnya empat biku itu hingga menjadi pemimpin di Renah Sekalawi. Memimpin keempat petulai yang sudah lama terbentuk jauh sebelum keempat biku datang. Kala itu, para ajai yang masih memimpin Renah Sekalawi.
Mereka para biku mendatangi Renah Sekalawi bukanlah untuk kepentingan politik atau kekuasaan. Keempat petulai dengan kepemimpinan ajai mereka tidak mengalami perubahan. Para biku itu membaur dengan masyarakat Renah Sekalawi. Karena arif dan bijaknnya keempat biku itulah masyarakat Renah Sekalawi kemudian mendaulat keempatnya sebagai pemimpin mereka.
Biku Sepanjang Jiwo menggantikan Ajai Bintang di Pelabai. Biku Bembo menggantikan Ajai Siang di Sukanegeri (dekat Tapus, hulu sungai Ketahun). Biku Bejenggo berkedudukan di Batu Lebar (dekat Anggung Rejang di Kesambe). Biku Bermano berkedudukan di Kutei Rukam (dekat danau Tes).
Di bawah kepemimpinan mereka, masyarakat Rejang kian berkembang. Mulai dari bercocok tanam, berladang dan bersawah mereka tekuni bersama sehingga akhirnya mereka memiliki kebudayaan yang tinggi. Sebagaimana kita ketahui, masyarakat Rejang mempunyai aksara dan bahasa sendiri.
Mereka, keempat biku ini, juga memperbaiki adat istiadat masyarakat Renah Sekalawi. Di antaranya adat “Bayar Bangun” yaitu adat yang mengatur hukuman bagi pembunuh yang tidak lagi dibalas bunuh melainkan diwajibkan membayar denda.
Pemberlakuan hukum adat yang seperti ini di Renah Sekalawi mempertegas eksistensi kepemimpinan keempat biku. Ini makin memperkuat kenyataan bahwa keempat biku bukan berasal dari Majapahit tetapi dari Pagaruyung.
Karena, konsep keadilan hukum adat bayar bangun hidup di Pagaruyung yang beralam Minangkabau. Ciptaan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Sebagaimana pitaruh Minangkabau yang berbunyi “salah cancang mambari pampeh, salah bunuh mambari bangun”. Pepatah yang berarti salah cencang memberi denda, salah bunuh memberi bangun.
Setelah mengetengahkan ihwal keberadaan keempat biku Pagaruyung yang menjadi pemimpin keempat petulai di Renah Sekalawi, Buya Endar melanjutkan catatan sejarah Rejangnya pada 4 Oktober 2016. Pada bagian kelima ini, Beliau mengetengahkan ihwal Tahta Tunggal Teguling Sakti. Putera dari Biku Bermano. Leluhur Rejang dari Buya Endar sendiri. Nama leluhurnya ini diabadikan Buya Endar pada nama anaknya, AS. Onar Bermano. Pelukis muda yang kini menetap di Yogyakarta.
Sebelum melanjutkan catatannya, Buya Endar menyinggung fenomena kekinian pelaku seni di Tanah Rejang. Mereka banyak bermunculan tetapi, sayangnya, tidak begitu menguasai riwayat sejarah peradaban Rejang. Tugas Badan Musyawarah Adat (BMA) untuk membimbing mereka demi kelestarian riwayat dan budaya Rejang. Tetapi, sayangnya juga, BMA terlalu condong dengan kehendak pemerintah ketimbang membangun ruh kedaerahan Rejangnya sendiri.
Masuk kembali ke catatan sejarah Rejang, fase kepemimpinan para biku bumi Melayu kerajaan Pagaruyung beralam Minangkabau memimpin Renah Sekalawi. Adalah Biku Bermano yang membangun kekuasaan petulai pimpinannya yang berpusat di Kutei Rukam. Dimana saja anak keturunannya berada, tetap memakai nama marga Bermani.
Adapun Biku Sepanjang Jiwo yang mudik dan digantikan oleh bangsawan Pagaruyung, Rajo Megat. Tokoh ini menikahi anak Ajai Bintang, Puteri Rambut Seguling yang melahirkan Rajo Mawang dan Puteri Senggang. Puteri ini dinikahi oleh Biku Bermano yang kemudian melahirkan Puteri Jenggai, Rantai Sembilan dan Tahta Tunggal Terguling Sakti.
Tahta Tunggal Terguling Sakti mempunyai anak 9 orang. Nama kesemuanya unik karena berawalan Gajah. Mereka adalah Gajah Meram, Gajah Gemeram, Gajah Beniting, Gajah Biring, Gajah Rimbun, Gajah Rayo, Gajah Ripak, Gajah Pekih dan Gajah Merik.
Penulis alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Curup, Pesantren Arrahmah Curup dan Pesantren Nurul Huda Sukaraja OKU Timur. Selain sebagai Ketua PC Tarbiyah-PERTI Rejang Lebong dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong, penulis juga Wakil Ketua Yayasan PPNH Sukaraja