Oleh: DMS. Harby*

Artikel terdahulu membahas bagian ketujuh dan kedelapan catatan sejarah Rejang Buya Endar tentang peralihan pemerintahan Pinang Belapis ke Rejang Empat Petulai dan silsilah Kerajaan Rejang Empat Petulai bermula dari empat biku Pagaruyung. Pada bagian kesembilan dan kesepuluh catatan yang diposting pada tanggal 22 dan 25 Oktober 2016 ini, Buya Endar mengulas tentang ihwal kedaulatan kerajaan Rejang Empat Petulai dan hubungannya dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Bengkulu kala itu. Buya Endar menegaskan terlebih dahulu bahwa masyarakat Rejang sejak dahulu sudah beragama dan agama mereka itu Islam.

Para biku dari Pagaruyung itu tidaklah menyebarkan agama yang mereka anut baik Budha apalagi Hindu. Hal ini terbukti dari nama dan anak keturunan para biku yang sampai sekarang identiknya adalah Islam. Dalam riwayat sejarahnya, masyarakat Rejang tidak pernah takluk di bawah kerajaan apapun. Termasuk era penjajahan Belanda dan Jepang. Kerajaan Silebar yang terletak di tepi sungai Selebar, yang rakyatnya terdiri dari suku bangsa Lembak, yang pemimpinnya Depati Payung Negara, takluk pada kerajaan Bantam. Kerajaan Sungai Serut dengan rajanya Ratu Agung, yang di antara anaknya adalah Anak Dalam Muaro Bangkahulu dan Puteri Gading Cempaka, ditaklukkan oleh Aceh.

Rejang dengan Kerajaan Pat Petulainya tidak takluk sama sekali baik kepada Kerajaan Bantam maupun Kerajaan Aceh. Pada peralihan Abad XVI dan XVII Masehi, masyarakat Rejang mengadakan musyawarah besar. Selain keempat petulai di wilayah Lebong, hadir juga pada rapat itu anak keturunan mereka yang telah membuat petulai sendiri di luar Renah Sekalawi. Di antara mereka terdapat 4 orang utusan dari Sindang Empat Lawang. 5 orang dari Sindang Beliti. 3 orang dari Ulu Musi. 11 orang dari Renah Pesisir dan 7 orang dari Renah Ketahun. Dalam musyawarah besar ini diputuskan berbagai masalah baik adat maupun batas-batas kekuasaan. Yang terpenting dari keputusan itu adalah pemberian gelar adat bagi para pemimpin di dalam jaringan pemerintahan Rejang Empat Petulai. Adapun daftar penetapan gelar bagi para pemimpin petulai tersebut sebagai berikut:

1. Sapau Lanang dari Petulai Bermani di Kuteui Rukam diberi gelar Depati Pasak Bumi.
2. Rio Tado dari Petulai Juru Kalang di Tapus diberi gelar Depati Rajo Besar.
3. Ajai Malang dari Petulai Selupu di Atas Tebing diberi gelar Depati Tiang Alam.
4. Ki Pati dari Petulai Suku VIII di Karang Anyar diberi gelar Depati Kemala Ratu.
5. Ki Pandan dari Petulai Suku IX di Pandan Agung diberi gelar Rajo Depati.

Dengan keputusan musyawarah besar ini, maka mulai berlakulah pemerintahan Depati Tiang Empat dengan pimpinan Rajo Depatinya yang berprinsip “Pat Spakat Lmo Sperno” yang berarti empat sepakat lima sempurna. Meskipun kembali terjadi peralihan pemerintahan di Renah Sekalawi, tapi hal yang prinsip berupa kedaulatan Rejang tetap bertahan. Baik di zaman pemerintahan Pinang Belapis, Pat Petulai maupun Depati Tiang Empat, Rejang tidak pernah takluk kepada kerajaan manapun. Sehingga masyarakat Rejang secara keseluruhan, pada dasarnya, mutlak berkedaulatan penuh.

Artinya orang rejang secara garis keturunannya tidak pernah ditaklukkan atau dijajah kemerdekaannya. Lalu bagaimana dengan istilah dan sejarah Rejang Sabah? Cerita bermula dari daerah Bengkulu kini yang dahulu pernah ada dua kerajaan yaitu Kerajaan Silebar dan Kerajaan Sungai Serut. Kerajaan Silebar berpusat di pesisir Sungai Selebar di daerah Jenggalu sekarang. Rajanya bernama Rangga Janu yang bergelar Depati Payung Negara. Rakyatnya adalah masyarakat suku Lembak. Kerajaan kedua yaitu Kerajaan Sungai Serut yang terletak di Bengkulu Tinggi yang sekarang masuk ke daerah Bengkulu Tengah. Rajanya bernama Ratu Agung dengan ketujuh anaknya.

Selain Anak Dalam Muaro Bangkahulu dan Puteri Gading Cempaka, anak Ratu Agung adalah Ratu Cili, Manuk Mintur, Lemang Batu, Rindang papan dan Tajuk Rompang. Setelah Ratu Agung wafat, maka didaulatlah Anak Dalam Muaro Bangkahulu yang meneruskan kepemimpinan Sungai Serut. Pada suatu hari, Puteri Gading Cempaka dilamar oleh Raja Aceh, Sultan Iskandar Muda. Lamaran itu ditolak oleh Anak Dalam Muaro Bangkahulu, kakaknya yang juga Raja Sungai Serut. Akibatnya, Raja Aceh marah dan terjadilah perang besar. Dampaknya membuat Sungai Serut diserang dan dihancurkan. Anak Dalam Muaro Bangkahulu bersama rakyatnya mengungsi ke Gunung Bungkuk yang sekarang juga masuk ke Bengkulu Tengah.

Peristiwa berdarah ini terjadi sekitar tahun 1615 Masehi. Anak Dalam Muaro Bangkahulu yang memimpin pengungsian justru menghilang tidak tahu kabar beritanya. Sehingganya pasukan dan rakyat kerajaannya ibarat ayam kehilangan induknya yang tidak tahu kemana tempat harus mengadu. Situasi ini didengar oleh Kerajaan Depati Tiang Empat yang mengutus bala bantuan untuk menyelamatkan pasukan dan rakyat Kerajaan Sungai Serut itu. Dengan kedatangan utusan Depati Tiang Empat ke lokasi pengungsian rakyat dan pasukan Sungai Serut di Gunung Bungkuk itu, maka terciptalah keamanan di lingkungan itu. Pihak Aceh pun menjadi tidak berani masuk ke wilayah yang dilindungi pemerintahan Depati Tiang Empat penerus Kerajaan Rejang Empat Petulai itu. Dari sinilah silsilah Rejang Sabah itu berasal.


Penulis alumni Madrasah Tarbiyah Islamiyah Curup, Pesantren Arrahmah Curup dan Pesantren Nurul Huda Sukaraja OKU Timur. Selain sebagai Ketua PC Tarbiyah-PERTI Rejang Lebong dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Tarbiyah Rejang Lebong, penulis juga Wakil Ketua Yayasan PPNH Sukaraja